Kamis, 16 Januari 2014
24 Tahun Rivalitas Surabaya - Malang 1990 - 2014
Rivalitas warga Surabaya dan Malang, justru dimulai dari dunia musik. Bukan, dari sepak bola. Aneh bukan? Tapi, itulah faktanya. Cerita singkatnya, saat Iwan Fals manggung di Stadion Tambaksari, Surabaya 10 November. Bentrok di konser music Iwan, 11 - 12 Agustus 1990 itu membuka cerita baru arek Malang, untuk meluarpakan dendam kesumatnya. Ini cerita kawula muda di jamannya.
Rivalitas Surabaya - Malang, sepertinya menjadikan sepak bola sebagai ‘barometer’-nya. Ketika, dua tahun kemudian, tepatnya 4 Februari 1992, saat Stadion Gajayana menggelar partai wilayah timur, kompetisi PSSI Perserikatan 1991 - 1992, antara Persema Malang menjamu Persebaya Surabaya.
Seminggu sebelum pertandingan arek-arek Malang, sepertinya menjadi pemicu maraknya saling dendam, saat nongol spanduk-spanduk ancaman terhadap “Arek-arek Suroboyo”. Seperti, “Kalau berani datang ke Malang”. Kebetulan, tulisan-tulisan bernada mengancam tersebut diliput Jawa Pos saat itu.
Sayangnya, walikota Malang saat itu Soesamto di media cetak membuat statement yang cenderung mengajak berkelahi, misalnya "Arek Suroboyo haram masuk Malang,”. Makanya, nada-nada pemicu kerusuhan ini, justru mengundang reaksi publik sepak bola Surabaya. Sesepuh Persebaya, HM Barmen misalnya, mengkritik hal tersebut dan membuat perang terbuka di media dengan walikota Soesamto. Bahkan Soesamto pun berkoar akan mencekal dan melarang M. Barmen masuk kota Malang
Hal ini semakin membuat supporter bola Surabaya meradang. Mereka pun melakukan aksi balasan dengan menggelar spanduk-spanduk menghujat “Arek Malang dan Soesamto sepanjang menuju kota Malang. Dan, akhirnya hari Sabtu 4 Februari itu, partai Persema Malang vs Persebaya yang disiarkan secara langsung ini, sepertinya menunggu insiden. Apalagi, warga Malang lebih dominan menguasai Gajayana.
Menjelang kick off, kedua kesebelasan melakukan pemanasan di dalam stadion. Ujug-ujug, para pemain Persema Malang, yang dipimpin Yohannes Goehera, seperti sudah dikomando untuk menyerang, memukuli dan mengeroyok para pemain Persebaya Surabaya tanpa sebab yang jelas. Dampaknya, mental para pemain Persebaya sudah ‘down’, seperti.Yusuf Ekodono, Ibnu Graham, Winedy Purwito, dan Slamet Bachtiar dkk yang secara teknis lebih unggul, akhinya harus menyerah 0 – 1.
Namun, PSSI saat itu akhirnya memberi sanksi kepada lima (5) pemain Persema Malang (termasuk Yohannes Goehera), sebagai pelaku utama pengeroyokan, dikenakan dua (2) tahun tidak boleh tampil di kompetisi PSSI Perserikatan. Peristiwa pengeroyokan pemain Persebaya di Gajayana, 4 Februari 1992 tersebut membuat publik bola Surabaya semakin marah besar, dan membuat perhitungan di kemudian harinya.
Sampai ini, tidak ada kaitanya antara Persebaya Surabaya dengan Arema Malang, kecuali antara Persema Malang dan Persebaya, serta dua penggemar Iwan Fals yang berdarah asli Malang dan Surabaya.
PERANG STATEMENT Di KORAN
Noda hitam kembali tercatat di dunia persepakbolaan nasional. Suporter Persebaya, Bonekmania kembali berbuat ulah saat berlangsung laga Persebaya versus Arema Malang di Stadion 10 Nopember Tambaksari Surabaya, Senin (4/9) petang. Laga kedua tim dihentikan pada menit ke-86 oleh wasit Jimmy Napitupulu, saat kedudukan imbang 0-0. Kedua tim bertemu di laga second legs Copa DjiSamSoe Indonesia 2006. Pada pertandingan sebelumnya di Stadion Kanjuruhan Malang, Persebaya kalah 0 – 1 atas Arema Malang.
Dengan hasil akhir seperti itu, maka Persebaya tak lolos ke babak semifinal Copa DjiSamSoe, sebab, di laga pertama, Green Force kalah. Situasi tegang dan mencekam inilah, yang membuat pendukung fanatik Persebaya gregetan dan ngamuk, selain pertemuan kedua tim diselimuti atmosfir panas. Sebelumnya terjadi perang urat syarat cukup keras antara pengurus kedua tim.
"Yang kita pikirkan sekarang bagaimana Persebaya lolos ke babak semifinal," tegas pelatih Persebaya, Fredy Muli satu hari menjelang pertandingan. Pernyataan lebih tajam disampaikan Manajer Arema Malang, Satrija Budi Wibawa. Dia menyoroti keberadaan kapten tim Persebaya, Bejo Sugiantoro. Di mata Satrija, Bejo adalah pemain yang kurang menjunjung tinggi sportifitas dan terlibat "selingkuh". Bejo pernah menjalin kesepakatan kontrak dengan dua tim sekaligus, yakni Persebaya dan Arema beberapa tahun sebelumnya. Ujung-ujungnya, kedua tim berkonflik dan perselisihan baru reda setelah dimediatori Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi.
Suasana pra-pertandingan sepertinya sangat memicu partai 8 Besar Copa DjiSamSoe tersebut. Contohnya, sering terjadi kedua tim saling terlibat ‘body charge’ dan juga melakukan pelanggaran berat. Kedua tim juga seringkali melakukan aksi dorong yang bisa memicu terjadinya bentrokan antar pemain. Untungnya, kepemimpinan wasit Jimmy yang tegas dan jeli membuat laga pemain kedua tim tak sampai terlibat duel seru.
Puncaknya, di menit ke-61, tanda-tanda kerusuhan sudah mulai terlihat, ketika sebagian suporternya - Bonekmania sekitar 25 ribu yang memadati Stadion Tambaksari mulai melempar para pemain Arema. Bahkan, ketika Alexander Pulalo hendak mengambil lemparan ke dalam pun, sudah dilempar dan diteriaki rasis.
Keadaan diperparah ketika di menit 80. Ahmad Kurniawan menerima beberapa kali lemparan batu dari Bonek di belakang gawang. Sayang wasit Jimmy Napitupulu bukannya mengambil tindakan tegas terkait perilaku penonton, malah memberikan kartu kuning kepada Ahmad Kurniawan. Sungguh patut disesalkan. Pada saat itu AK tidak berniat mengulur waktu pertandingan, tapi ia menyelamatkan diri ketika beberapa lemparan batu menghunjam dirinya.
Malapetaka berikutnya itu datang menit ke-85. Bola ketika itu dikuasai penjaga gawang Arema, Ahmad Kurniawan. Karena merasa kondisinya tak aman, kiper Arema ini tak kunjung menendang bola ke tengah lapangan. Padahal, wasit Jimmy telah memberikan aba-aba agar bola segera ditendang. Namun, akhirnya, bola justru ditendang Warsidi, pemain belakang Arema. Hanya saja, setelah menendang bola, Warsidi tergeletak di lapangan tanpa tahu apa penyebabnya. Wasit Jimmy menghentikan pertandingan dan meminta petugas kesehatan masuk lapangan untuk memberikan pertolongan kepada Warsidi.
Tak berselang lama, beberapa koordinator suporter yang mengenakan rompi oranye di sisi selatan dan utara berlarian masuk lapangan. Entah apa maksudnya, dan sepertinya sudah siap-siap membuat kegaduhan yang masa dahsyat, tak lagi bisa dialang-alangi. Sepak bola Indonesia berduka. Olah raga yang seharusnya menjadi pemersatu sebuah bangsa malah menjadi bumerang bagi masyarakatnya.
Lewat sebuah prosesi yang tidak sampai memakan waktu 2 × 45 menit itu, terjadilah sebuah insiden besar. Media cetak dan elektronik serentak memberikan berita yang super bombastis berkaitan dengan kerusuhan di Stadion Tambaksari Surabaya.
TAMBAKSARI KELABU 2006
Ratusan polisi yang disiagakan langsung mengambil tindakan. Namun mereka kalah kuantitas dari suporter tuan rumah. Sedianya petugas keamanan dikerahkan 4 SSK (Satuan Setingkat Kompi) atau sekitar 400 personel oleh Panpel. Tapi atas desakan Polwiltabes Surabaya, akhirnya jumlah ini dilipat gandakan menjadi 700 personel. Dengan jumlah tersebut sangat kurang memang untuk mengamankan sekitar 25.000 penonton pada pertandingan tersebut.
Sebelum pertandingan memang sempat terjadi kericuhan. Tatkala sekitar 300 suporter yang tidak memiliki tiket menjebol pintu masuk stadion dan terlibat bentrok dengan aparat. Sempat disiarkan disalah ANTV, stasiun televisi yang siarkan event tersebut, ketika ratusan suporter tersebut berdesak-desakan memasuki stadion.
Sementara di luar stadion suasana mencekam berkobar di beberapa jalanan Kota Surabaya. DI Luar Stadion Tambaksari kobaran api membumbung tinggi ke angkasa. Beberapa mobil di bakar, sementara puluhan korban mulai berjatuhan. Mereka berasal dari Aparat Kepolisian, Bonek dan warga Surabaya lainnya. Beberapa perusuh ditangkap.
Seberapa parahkah? Bayangkan, tiga mobil dibakar hebat, belasan lainnya rusak-rusak. Termasuk, truk polisi dan ambulans milik RSUD dr Soetomo. Kaca-kaca stadion serta sejumlah bangunan di sekitar stadion rusak. Perusakan tersebut terus dilakukan sepanjang rute kepulangan Bonek dari kawasan stadion hingga Jl, Ngagel Jaya Selatan.
Para suporter Persebaya sebenarnya sudah “panas” sejak ditengah-tengah pertandingan. Pada laga kedua babak Delapan Besar tersebut, Persebaya memang harus menang 2-0, kalau masih ingin lolos ke babak selanjutnya. Pada laga pertama di Malang, 1 September sebelumnya, mereka kalah 0 – 1.
Para suporter yang mencapai 25.000 orang (versi panitia pelaksana pertandingan) itu tak puas melihat berlangsungnya pertandingan. Hingga mendekati akhir pertandingan, Bejo Sugiantoro dkk tak mampu menjebol gawang Arema. Puncaknya terjadi pada menit ke-86 itu. Kiper Arema, Ahmad Kurniawan, terjatuh kena lemparan batu penonton. Pertandingan sempat dihentikan lama. Ketika dia berdiri, tiba-tiba para penonton dari tribun timur berbondong-bondong memasuki lapangan. Situasi makin tak terkendali saat suporter dari tribun lain ikut memasuki lapangan.
Para pemain pun berlari mengamankan diri dan kerusuhan berlanjut antara suporter melawan ratusan aparat (sekitar 700 petugas). Para suporter meneruskan dengan perusakan serta pembakaran. Puluhan titik kebakaran terlihat di dalam stadion kebanggaan Surabaya tersebut.
Hanya, karena konsentrasi pengamanan terpusat di dalam stadion, tak disangka, yang terjadi di luar jauh lebih parah. Sekitar pukul 17.30, perusakan dan pembakaran dimulai di luar stadion.
Ironisnya, sasaran pertama adalah mobil aparat. Tepatnya sebuah mobil dinas Koarmatim (Komando Armada RI Kawasan Timur). Ketika itu, mobil KKM (Kepala Kamar Mesin) KRI Pulau Rupat tersebut dikendarai Pratu Wisnu Sri Wardhana. “Saat itu, Wisnu hendak pulang ke rumahnya di kawasan Pucang Sewu,” jelas Kadisprov Armatim Mayor Bambang S. Irianto ketika dikonfirmasi Jawa Pos saat itu.
Namun, saat melintas di depan Stadion Gelora 10 Nopember, mobilnya terjebak kemacetan. Wisnu tampak shock atas kejadian itu. “Tiba-tiba saya mendengar suara praakkk… Waktu saya lihat, kaca belakang mobil sudah pecah,” ungkapnya. Setelah memecah kaca belakang, massa lantas menggoyang-goyang mobil dinas TNI-AL tersebut untuk digulingkan. Melihat gelagat yang tidak baik, Wisnu langsung melompat ke luar dan menyelamatkan diri. Selanjutnya, massa yang tak terkendali itu pun langsung menggulingkan serta membakar mobil tersebut.
Kebringasan massa juga tertuju ke mobil operasional ANTV yang siarkan secara langsung pertandingan tersebut. Suzuki APV bernopol B 8743 KR milik ANTV langsung dibakar, begitu massa melemparkan rokok dan korek api yang menyala ke dalam tangki bensinnya. Kaca depan Toyota Dyna milik ANTV juga ikut tersapu amuk murkanya supporter Persebaya.
Kerugian lebih berat dialami Telkom Surabaya Timur yang digandeng ANTV, sebagai mitra kerja siaran langsung pertandingan. Tercatat, dua mobil pemancar milik Divisi Long Distance Representative Office Telkom hancur lebur dirusak massa. Kerusakan Daihatsu Hi-line bernopol L 1225 JB milik Telkom tersebut mirip mobil operasional antv yang letaknya memang berdekatan. “Disulut tangki bensinnya,” kata Agus Juliansyah, teknisi bagian satelit Telkom Surabaya Timur.
Namun, yang paling diprihatinkan Telkom Surabaya Timur adalah kerusakan yang menimpa Nissan Diesel L 7612 Y, mobil operasional yang lain. Maklum, selain rusak berat, banyak peralatan teknis yang dicuri. “Salah satunya adalah spectrum analyzer. Nilainya Rp 300 juta. Siapa yang mau mengganti kerugiannya?” ungkap Agus seraya menggaruk-garuk kepala.
Begitu dahsyatnya ulah anarkis bonek, tercatat 14 polisi luka-luka dan puluhan topi polisi yang diletakkan di truk Dalmas dicuri. Anggota yang mengalami cedera paling parah adalah Bripda Kukuh. Kepalanya bocor dan kakinya terkena hantaman batu-batu. Begitu parahnya, dia harus dilarikan ke RSUD dr Soetomo untuk mendapatkan pertolongan. Sebanyak 25 panitia pelaksana pertandingan juga dilaporkan mengalami luka-luka akibat ulah bonek.
Di sepanjang perjalanan pulang, para bonek itu juga merusak dan melempari kendaraan. Aksi perusakan itu terjadi di Jl Dharmawangsa, Jl Ngagel Jaya Selatan, dan Jl Biliton. Lia (tidak mau disebut nama lengkapnya), seorang ibu yang rumahnya tepat berada di depan stadion, merupakan salah satu korban perusakan. “Apa yang dilakukan ini kriminal. Lebih baik tidak ada pertandingan sepak bola di Surabaya,” pintanya saat menghubungi kantor Jawa Pos saat itu.
Dengan perilaku Bonek yang lebih dari mengkhawatirkan itu, apa yang akan terjadi kemudian? Mungkin penggemar sepak bola di Surabaya harus siap menghadapi yang terburuk. Sebab, Bonek sebenarnya masih dalam masa skorsing PSSI. Mereka tidak boleh mengikuti enam laga away Persebaya akibat kerusuhan saat final Divisi I di Stadion Brawijaya, Kediri, 16 Agustus 2006 lalu.
Dari PSSI, ada ancaman sanksi, bonek tidak boleh menyaksikan pertandingan home (di kandang sendiri) selama satu musim. Komisi Disiplin PSSI akan mengagendakan kasus itu pada sidang Kamis, 7 September 2006 nantinya. Reaksi keras juga muncul dari pihak aparat. Ada kemungkinan Persebaya bakal tidak bisa main di kandang sendiri karena polisi tidak akan mengizinkan keramaiannya.
FINAL PIALA JATIM 2013
Seharusnya penyelenggara turnamen Piala Jatim 2013, tak boleh plin-plan. Sebelum turnamen selalu ada teknikal meeting antar manajer atau ofisial. Di mana, salah satunya merujuk lokasi partai semifinal dan final sudah disiapkan jauh-jauh hari, dan otomatis semua peserta tunduk pada aturan mainnya.
Seharusnya, partai final 24 Desember 2013 akan berlangsung di Stadion Kanjuruhan sesuai aturan main Piala Jatim 2013. Namun, oleh panitia yang dominan dikuasai oleh ‘boneka-boneka’-nya La Nyala Mattalitti, yang juga saat ini menjadi ofisial Persebaya Surabaya, akhirnya partai final Piala Jatim 2013, dipindah ke Lapangan Akademi Angkatan Laut (AAL) Bumimoro, Surabaya tanpa harus ada penonton.
Mengapa harus dipindah? Mengapa panitia Piala Jatim 2013 tidak percaya dengan produk buatannya sendiri? Mengapa kok ujug-ujug Persebaya KW-2 (Persikubar Versi La Nyalla) takut tak bisa juara di Piala Jatim? Apa gengsinya Piala Jatim bagi kedua tim? Dan, masih banyak pertanyaan yang tak akan bisa dijawab.
Namun, ternyata panitia Piala Jatim 2013 secara tidak sengaja, sudah membuat pertarungan rivalitas warga Surabaya dan Malang, dengan cara diam-diam sudah siap-siap mencetak aksi balas dendam nantinya, khususnya di musim kompetisi ISL 2013 – 2014 mendatang. Di mana keduanya dipastikan akan bertarung dengan system home and away. Otomatis, pertarungan ‘dendam lama’ ini akan lahir kembali. Atau, jauh-jauh hari PSSI dan PT Liga Indonesia, sudah memberi aba-aba agar partai home and away Persebaya Surabaya dan Arema Cronous akan bermain di tempat netral atau tanpa penonton. Dampaknya, secara finansial bisnis kedua tim ini kehilangan ratusan juta akibat tanpa penonton.
Apalagi PSSI sudah memutuskan, bahawa musim kompetisi ISL musim 2013 – 2014 dipastikan, akan dilakukan dengan cara dua wilayah. Maka, selain akan melahirkan intrik-intrik yang tak pernah selesai, sekaligus memcetak kebangkrutan bagi semua tim, akibat system dua wilayah. Di mana, kemungkinanannya Arema Cronous tidak satu wilayah dengan Persebaya Surabaya, sebaliknya Persib Bandung juga tidak satu wilayah dengan Persija Jakarta?
Rivalitas Persebaya – Arema, pada mulanya yang dianggap sebagai “Bumbu Penyedap” maraknya sepak bola Indonesia. Namun, rivalitas itu tak perlu terjadi berulang-ulang dengan kerusahan yang merugikan kedua warganya. Karena musuh Bonekmania sebenarnya bukan Aremania, sebaliknya musuh Aremania bukan Bonekmania. Seharusnya, musuh bersama kedua warga ini, adalah kemrosotan prestasi tim nasional selama tiga tahun teakhir, akibat dualisme organisasi, dualisme kompetisi dan dualisme tim nasional. Mohon direnungkan…………!!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar